Pendahuluan
Pembangunan di negara-negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia,
berlangsung setelah usai Perang Dunia II. Negara berkembang yang semula adalah
negara bekas jajahan, saat itu mulai bangkit melakukan perlawanan terhadap
penjajah. Selanjutnya mereka menetapkan diri dan mendapatkan pengakuan dunia
internasional sebagai negara merdeka (independent nations), meskipun
beberapa diantaranya, seperti beberapa negara di Asia Tenggara dan Selatan,
posisinya adalah sebagai negara commonwealth, yakni Malaysia, Singapura
dan India. Realitas kebangkitan itu tidak sama antara satu dengan yang lain
walaupun semuanya disponsori oleh hutang-hutang luar negeri dalam periode
pembangunannya. Di Asia Tenggara, Singapura lebih dulu diakui oleh dunia
internasional sebagai salah satu dari the Newly Industrializing Countries.
Namun sebagian besar dari negara berkembang di Asia, hingga kini belum ada yang
menyamai kemajuan negara-negara Barat yang mengklaim diri sebagai negara
modern, kecuali empat negara yang disebut sebagai the Newly Industrializing
Countries, yakni Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Tentu ada
berbagai penjelasan. Selain penjelasan sosial budaya juga penjelasan politik,
yang berkaitan dengan strategi politik Barat saat menghadapi perang dingin.
Sesungguhnya hal ini perlu uraian tersendiri, yang dalam tulisan ini tidak akan
diulas. Tulisan ini hendak memahami secara khusus konteks pembangunan dan
kesejahteraan di Indonesia selama berlangsungnya periode pembangunan bangsa.
Sebuah pertanyaan yang tidak pernah ada hentinya hingga saat ini,
sekurang-kurangnya dibenak penulis pribadi, ada apa dengan pembangunan bangsa
Indonesia yang telah berlangsung hampir empat puluh tahun, selalu diliputi
hutang di setiap tahunnya ? Saat awal pembangunan nasional dimulai pada tahun
1970an, isu yang diangkat adalah membangun ekonomi untuk mengentaskan
kemiskinan menuju masyarakat sejahtera. Pada umumnya pemikiran tentang
pembangunan di negara-negara belum berkembang (underdevelopment) selalu
meletakkan kemiskinan sebagai isu sentralnya. Ada perbedaan pendekatan dalam
pembangunan untuk memahami orang miskin. Disatu pihak ada yang memahami bahwa
kemiskinan itu karena kemalasan, sedang dipihak lain memahami ada sesuatu yang
hilang dalam hidupnya. Selanjutnya pemikiran seperti ini diterjemahkan menjadi
kurangnya pendapatan, ketidakmampuan untuk memuaskan kebutuhan dasar atau
kemampuan untuk menuntun dirinya menjadi manusia seutuhnya (Levine and Rizvi,
2005:41).
Akan tetapi cerita tentang
kemiskinan juga tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu, bahkan sejak
reformasi, setiap pergantian kepemimpinan nasional, isu pengentasan kemiskinan
dan pencapaian kesejahteraan masyarakat menjadi agenda pertarungan kepentingan
partai politik, terutama menjelang pileg (pemilihan legislatif) dan pilpres
(pemilihan presiden). Misalnya pada saat menjelang pemilihan anggota DPR,
pemerintah mengumumkan bahwa Indonesia telah mencapai swasembada pangan. Ekspor
beras dibesar-besarkan oleh partai politik dalam kampanye untuk menunjukkan
sukses pemerintah dalam menangani pangan. Ironisnya, diakhir bulan April 2009,
Menteri Perdagangan RI telah menandatangani MoU perpanjangan impor beras dari
Vietnam sampai dengan 2011 (Maksum, 2009)
Dapat disaksikan, fakta kemiskinan
dan kesejahteraan juga tidak kunjung terselesaikan. Jumlah penduduk miskin
menurut BPS sepuluh tahun terakhir (1996-2008) rata-rata 18,9%. Tabel.1 di
bawah tentu menarik untuk disimak, ada kenaikan jumlah hutang pemerintah mulai
dari tahun 1996, akan tetapi angka kemiskinan tidak menunjukkan penurunan yang
berarti. Sebagaimana diketahui bahwa hutang luar negeri Pemerintah Indonesia
juga sebagian digunakan untuk pengentasan kemiskinan. Angka kemiskinan di desa
(21,77%) bahkan lebih tinggi dari total rata-rata angka kemiskinan di
Indonesia. Pertanyaannya, apakah memang kemiskinan dan kesejahteraan ini adalah
sudah menjadi “merek dagang” program-program pembangunan bangsa?
Kalau jawaban atas pertanyaan ini
adalah “ya”, maka konsekuensi logis dari jawaban itu : “program pembangunan
akan terus berlangsung dan menjadi syah adanya, kalau isu kemiskinan dan
rendahnya tingkat kesejahteraan juga tidak pernah berakhir.” Hal ini menjadi
lebih menarik lagi, meskipun angka kemiskinan tidak banyak mengalami perubahan
dari waktu ke waktu, akan tetapi mereka tidak banyak yang mati karena
digolongkan sebagai orang miskin. Pada hemat penulis, isu kemiskinan dan
rendahnya kesejahteraan perlu disimak kembali. Benarkah bahwa pembangunan itu adalah
realitas pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat? Siapa
sesungguhnya yang memiliki dominasi untuk mengkonstruksikan pengentasan
kemiskinan dan kesejahteraan?
TABEL 1
PERBANDINGAN ANTARA ANGKA KEMISKINAN
DAN JUMLAH HUTANG (1996-2008)
|
Prosentase Penduduk Miskin (%)
(Di bawah garis kemiskinan)
|
Hutang Pemerintah dan Swasta
Dalam Milyard $ US
|
|||||
|
Tahun
|
Kota
|
Desa
|
Kota+ Desa
|
Hutang Pemerintah (Milyard $)
|
Hutang Swasta (Milyard $)
|
Total Hutang (Milyard $)
|
|
1996
|
13,39
|
19,78
|
17,47
|
59,05
|
55,40
|
114,45
|
|
1997
|
**
|
**
|
**
|
63,46
|
73,96
|
137,42
|
|
1998
|
21,92
|
25,72
|
24,23
|
60,45
|
83,57
|
144,02
|
|
1999
|
19,41
|
26,03
|
23,43
|
75,86
|
72,23
|
148,09
|
|
2000
|
14,60
|
22,38
|
19,14
|
74,92
|
66,78
|
141,70
|
|
2001
|
9,76
|
24,84
|
18,41
|
71,38
|
61,69
|
133,07
|
|
2002
|
14,46
|
21,10
|
18,20
|
81,67
|
53,73
|
135,40
|
|
2003
|
13,57
|
20,23
|
17,42
|
82,73
|
54,30
|
137,03
|
|
2004
|
12,13
|
20,11
|
16,66
|
80,07
|
50,58
|
130,65
|
|
2005
|
11,68
|
19,98
|
15,97
|
75,81
|
52,93
|
128,74
|
|
2006
|
13,47
|
21,81
|
17,75
|
80,61
|
56,03
|
136,64
|
|
2007
|
12,52
|
20,37
|
16,58
|
80,61
|
56,03
|
136,64
|
|
2008
|
11,65
|
18,93
|
15,42
|
86,58
|
62,56
|
149,14
|
|
Rata-rata
|
14,05
|
21,77
|
18,39
|
74,86
|
61,52
|
136,38
|
Sumber :
1.
Kemiskinan : BPS diolah dari data Susenas.
2. Hutang :
Bank Indonesia BPS, berbagai terbitan dan tahun terbitan
3. **Data Kemiskinan tahun 1997 tidak diketemukan di Susenas
Apakah Negara memiliki kebebasan
(nilai) untuk mengkonstruksikan konsep kemiskinan dan kesejahteraan yang tidak
tergantung pada lembaga keuangan internasional? Apa yang sehari-hari dirasakan
oleh masyarakat tentang hidup sejahtera (well being)? Pertanyaan ini
akan menjadi pusat perhatian selanjutnya dalam tulisan ini.
Pembangunan : Sebuah Alat Perluasan Pasar
Ketika pembangunan itu telah
terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat dan menjadi pola budaya,
kelihatannya semakin sedikit orang mempertanyakan asal-usul ide pembangunan.
Pertanyaannya, ide siapakah sesungguhnya pembangunan itu, apakah pembangunan
itu adalah ide murni negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, atau
sungguhnya pembangunan itu adalah idenya negara maju, yang jauh lebih
dulu berkembang dengan paham kapitalis industrialnya (industrial capitalism),
yang pada tahap tertentu paham tersebut membutuhkan perluasan pasar (market
expantion)? Atau ide para elit politik keduanya, baik negara maju mapun
berkembang. Lalu, apa hubungannya antara pembangunan di Indonesia dengan
perluasan pasar negara industri?
Secara historis, kapitalisme
industrial yang berkembang sejak Revolusi Industri di Eropa waktu itu,
kini perkembangan paham tersebut telah menembus batas-batas negara di seluruh
dunia. Ide utama dari paham ini adalah mencetak produksi sebesar-besarnya (mass
production) melalui teknologi permesinan guna menjawab kebutuhan hidup
manusia. Ide tersebut tidak hanya berhenti sampai pada penemuan teknologi baru,
memperbaiki organisasi produksi dan memperbaiki hubungan produksi, melainkan
juga bagaimana pasar itu diperluas dan dibentuk. Konsekuensi perubahan
teknologis ke arah permesinan ini mendorong kebangkitan produksi hasil
pabrikan, yang selanjutnya mempengaruhi kehidupan sosial, politik, ekonomi dan
budaya (Susetiawan, 2000:7) Jika pasar dalam sebuah kawasan telah terpenuhi,
sedang proses produksi melalui mesin berjalan terus, maka perluasan pasar
merupakan syarat mutlak untuk menghindari kelebihan produksi (over
production).
Proses produksi berkembang terus
dengan logika melingkar. Artinya jika terjadi perubahan teknologi produksi maka
perubahan itu juga menuntut perubahan pola konsumsi masyarakat. Sebaliknya,
perkembangan pola konsumsi juga mendorong kreativitas perubahan teknologi
produksi yang semakin berkembang untuk menciptakan produk produk baru dalam
industri manufaktur. Perubahan itu tidak hanya berhenti sampai disini, pasar
akan berkembang dengan baik kalau terjadi perubahan sosial ekonomi masyarakat
guna menyongsong produk baru. Oleh sebab itu, agar perluasan pasar mampu
menembus batas-batas negara di seluruh dunia maka kerja ekonomi saja tidak
cukup, melainkan juga dibutuhkan kerja politik, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada akhirnya kerja politiklah yang
menjadi kunci penting dalam perluasan pasar. Tanpa kerja politik pasar sulit
diciptakan. Herry Priyono (Wibowo dan Wahono, 2003:49) menyebutnya bahwa pasar
itu merupakan hubungan sosial bentukan manusia, oleh karenanya membutuhkan
tindakan politik. Ini adalah salah satu sisi perbedaan antara pemikiran liberal
dan neoliberal. Pemikiran liberal membiarkan pasar bekerja secara bebas, akan
tetapi para neoliberalis berpikir bahwa pasar harus diintervensi secara
politik, dibentuk dan diarahkan sesuai dengan kepentingan untuk memenangkan
persaingan. Negara sasaran perluasan pasar, selain padat penduduknya juga
pendapatan per kapita penduduknya rendah seperti negara negara Afrika, Asia dan
Amerika Latin. Oleh sebab itu upaya mempengaruhi para pemimpin politik negara
berkembang untuk mengikuti prinsip perluasan pasar negara industri menjadi
sangat penting dalam kerja politik.
Pada akhirnya perkembangan model
produksi tidak hanya terbatas pada barang industri manufaktur, yang hak-hak
patennya seperti hak-hak cipta dan intelektualnya, telah diatur dalam tata
dunia internasional, yang mendahului kemajuan negara berkembang di era
pembangunannya. Kerja politik berikutnya, uang tidak hanya sekedar berfungsi
sebagai alat tukar. Uang telah berdiri sebagai produk, yang layak diperdagangkan
sebagaimana produk industri manufaktur (Clarke, 2004:88). Baik produk industri
manufaktur maupun uang posisinya telah diatur dalam tata organisasi
internasional, yang keberadaannya jauh mendahului majunya negara-negara
berkembang itu sendiri. Konstruksi kelembagaan untuk mengatur tata dunia
dilakukan melalui organisasi internasional antara lain seperti WTO (World
Trade Organization), GATT (General Agreement on Trade and Tariff),
Bank Dunia (World Bank), IMF (Iternational Monetary Fund) dan
berbagai lembaga lainnya (Tabb, 2001:73). Perluasan kontruksi pasar telah
dipersiapkan secara matang, bahkan tata ekonomi politik global telah
dipersiapkan mengikuti pola perkembangan paham kapitalisme industrial yang
berwatak neoliberal.
Sangatlah disadari bahwa perluasan
pasar bukan hal yang mudah sebab telah diketahui bahwa pasar yang akan menjadi
sasarannya itu sebagian besar penduduknya berpendapatan per kapita rendah, yang
sangat tidak mendukung perluasan pasar sebagaimana dikehendaki oleh negara
industri maju. Itulah sebabnya pada umumnya pembangunan negara berkembang
merupakan gagasan yang bukan lahir dari pemikiran negara-negara berkembang
sendiri, akan tetapi pembangunan itu merupakan produk negara industri untuk
mendukung perluasan pasar mereka, yang didukung oleh para elit politik negara
berkembang yang pro pasar bebas. Pembangunan ekonomi negara berkembang yang
dianggap sebagai obat mujarab untuk menyelesaikan persoalan keterbelakangan,
semuanya disponsori oleh negara-negara maju dengan pola pinjaman luar negeri.
Institusi keuangan ini telah dipersiapkan oleh lembaga-lembaga keuangan
negara-negara maju. Bank Dunia merupakan organisasi ekonomi yang dipercaya oleh
negara kaya untuk mempromosikan pembangunan di negara berkembang (Hancock,
2005:98). Bukan hanya sponsor finansial saja, ilmu pengetahuan, teknologi
sampai dengan ukuran maju dan terbelakang, tradisional dan modern, kaya dan
miskin, welfare dan illfare, dimana ukuran ini tidak lepas dari
campurtangan para sponsor. Kalau saja mantan Presiden Soeharto sekarang ini
masih ada diantara kita, betapa marahnya dia karena Bapak Pembangunan itu
sesungguhnya bukan Soeharto akan tetapi George Sorros dan kawan-kawannya.
Oleh sebab itu, setiap kepemimpinan
nasional dalam periode pembangunan, kemungkinan besar tidak akan lepas dari
campur tangan para sponsor untuk melapangkan jalannya perluasan pasar. Di
tingkat ini, negara, di bawah siapa pun kepemimpinan nasional terpilih, adalah
sosok institusi yang tidakberdaya melawan konstruksi pasar yang dibangun oleh
paham neoliberal. Dengan demikian semua persoalan masyarakat negara berkembang
ditentukan melalui sistem keuangan internasional, dan bukan oleh keadaan
regional maupun nasional. Ketika semua aturan ditentukan oleh lembaga keuangan
internasional maka lembaga keuangan tersebut akan mengontrol pemberlakuannya
dan penyeragamannya secara global tanpa peduli kondisi spesifik masyarakat
(Hadar, 2004:13) Lembaga keuangan internasional seperti IMF pun menyediakan
saran tentang stabilisasi ekonomi namun tidak menunjukkan cara bagaimana
ekonomi itu tumbuh dengan baik. Pertumbuhan ekonomi itu membutuhkan stabilisasi
untuk mendukung agenda neoliberal tentang privatisasi dan liberalisasi ekonomi
di era pembangunan negara berkembang (Stiglitz, 2002:169). Tentu, dengan
pembangunan yang telah berlangsung di Indonesia hingga sekarang ini, telah
banyak terjadi perubahan materiil. Dibandingkan dengan empat puluh tahun silam,
kemegahan, kemewahan dan kegemerlapan fasilitas publik yang serba modern dapat
disaksikan sekarang ini.
Namun pembangunan telah menciptakan
kesenjangan sosial ekonomi semakin lebar, lebih memprihatinkan lagi adalah
bahwa barang produksi yang dikonsumsi masyarakat Indonesia pada umumnya adalah
barang produksi import. Kalau ada barang kebutuhan yang dapat diproduksi sendiri,
bahan bakunya kebanyakan adalah import, mulai dari kebutuhan bahan makanan
(kebutuhan primer) sampai kebutuhan sekunder yang lain tergantung pada import.
Misalnya salah satu jenis makanan, Mie instan yang terlembagakan (institutionalized)
pada diri anak-anak sebagai makanan fast food, bahan dasarnya adalah
gandum, yang tidak ada di Indonesia. Lembaga perguruan tinggi semakin banyak
jumlahnya dan fasilitasnya juga semakin bagus, namun eksistensinya lebih banyak
mereproduksi ilmu pengetahuan dan teknologi import dari negara maju. Misalnya
dibidang pertanian, ilmu dan teknologi macam apa yang dapat diklaim sebagai
produk dalam negeri, tanpa ketergantunag pada import sehingga produk itu
sebagai wujud kedaulatan bangsa Indonesia?. Sejauh penulis ketahui tentang
Pembangunan Pertanian di Indonesia, yang praktis dimulai jaman Orba pada tahun
1970 an, sampai saat ini masyarakat belum banyak mengetahui produk baru macam
apa yang telah dihasilkan dari pembangunan pertanian selain padi. Kalau
dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand, negeri ini telah mampu
menjual kebudayaan produksi pembangunan pertaniannya. Misalnya masyarakat
Indonesia sekarang ini tidak asing dengan buah Jambu Bangkok, Durian Bangkok,
Kelengkeng Bangkok dll. Bangsa Indonesia memiliki potensi sumber alam yang sama
dengan Thailand, akan tetapi di periode pembangunan potensi itu semakin hilang
dan tidak semakin berkembang. Salah satu contohnya adalah padi, yang semula
bangsa ini memiliki varietas yang sangat kaya, akan tetapi sekarang ini
hampir punah dan posisinya digantikan oleh benih padi produksi hibrida (benih
padi yang diproduksi oleh pabrik).
Kemudian, apa yang dapat
dipetik dari pelajaran tentang perubahan seperti ini, mungkin saja secara tidak
sadar, negara ini telah memasuki arena dimana terjadi kemiskinan konsep tentang
pembangunan, yang selalu mereproduksi pembangunan untuk pengentasan kemiskinan
secara berulang-ulang, yang tidak pernah akan habis dan tidak pernah mandiri.
Kalau tidak dipikirkan secara serius, sepanjang hayat bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang tergantung, jika tidak pernah berani membongkar kemiskinan konsep
pembangunannya. Apa yang telah berlangsung dalam periode pembangunan, ini hanya
merupakan sebuah usaha untuk menaikkan daya beli masyarakat guna merespon
barang produksi import.
Dengan demikian pembangunan hanya
mempersiapkan masyarakat agar mereka dapat merespon pasar produk industrial
dari negara maju. Misalnya, saat ini anak-anak jauh lebih suka makan Pizza
Hut, McDonald dan Kentucky Fried Chicken (KFC) daripada Ayam Goreng
mBok Sabar maupun Ny. Suharti. Inilah hubungan relasional antara perluasan
pasar barang industri negara maju dengan pembangunan yang berlangsung di
Indonesia. Lalu, apa yang diimpikan oleh bangsa ini tentang hidup sejahtera
dalam situasi sosial, ekonomi dan politik seperti ini, atau kesejahteraan itu
memang sebuah konsep yang utopis? Atau sejahtera itu, kalau orang mampu
mengkonsumsi produk import? Berdasarkan pertanyaan ini, penulis akan mencoba
memahami perkembangan masyarakat yang sedang berlangsung sekarang ini
Pembangunan dan Kesejahteraan dalam Arena Civil
Society
Diskursus tentang kesejahteraan
sudah cukup lama, bahkan pada jaman Yunani dan Romawi kuno pun diskursus
seperti ini sudah banyak dilakukan oleh para filosof saat itu. Perdebatan
tersebut berawal dari keyakinan para cerdik pandai tentang perubahan sosial
yang tak pernah berhenti dalam kehidupan manusia. Perdebatan keyakinan tentang
perubahan sosial tidak dapat dipisahkan dari pencapaian tujuan hidup yang
dianggapnya lebih baik, tentangnya pada umumnya orang menyebutnya dengan
sejahtera (well being).
Secara umum terdapat dua penjelasan besar tentang perubahan sosial. Pertama,
adanya keyakinan bahwa perubahan sosial itu merupakan proses seleksi
alam, yang berkembang secara linier dan progresif dari tahap satu ke tahap yang
lain. Kedua, perubahan sosial itu akan berlangsung dengan baik dan menjamin
semua kepentingan masyarakat kalau ada intervensi, dengan demikian terjadi
perkembangan linier dan progressif. Perubahan yang berlangsung atas seleksi
alam itu, kalau dibiarkan akan berakibat pada proses dehumanisasi. Baik
keyakinan pertama maupun kedua, masing-masing berkembang dengan dinamikanya
sendiri yang berbeda satu sama lain terutama tentang penjelasan sebab
terjadinya perubahan. Namun pada akhirnya keduanya mencapai titik yang sama,
yakni masyarakat itu berkembang melalui proses bertahap menuju perkembangan
yang lebih baik.
Pemikiran filosof awal, Heraklitus,
menjelaskan bahwa proses perubahan alami itu terjadi secara dialektis.
Perubahan merupakan benturan dari unsur-unsur yang berlawanan dalam kehidupan
masyarakat, yang pada akhirnya membawa kematangan dalam kehidupan yang lebih
baik. Penjelasan interventif diawali dari pemikiran Plato yang mengangankan
tatanan masyarakat yang sempurna (utopia). Guna mencapai tujuan itu, intervensi
kekuasaan diperlukan untuk mengatur perkembangan yang lebih baik dan manusiawi.
Kedua pemikiran ini selanjutnya mewarnai pemikiran-pemikiran berikut tentang
perubahan masyarakat yang diharapkan di masa datang. Para pemikir penganut
keyakinan perubahan non interventif dapat dibagi menjadi dua. Pendapat pertama,
perubahan linier progressif itu terjadi karena kehendak kekuatan alam yang
diluar jangkauan manusia. Masyarakat itu selalu berubah secara dinamis, yakni
ada, berevolusi menjadi dewasa (matang) lalu hancur dan berikutnya tumbuh lagi
seperti perubahan dalam mikro organisme (Medgley, 2005:59)
Charles Darwin dan Herbert Spencer
(Ritzer, 1983:26, Midgley, 2005:61) serta pengikutnya merupakan pemikir yang
mempercayai bahwa seleksi alam akan menyisakan masyarakat yang terbaik dan
mampu bertahan. Oleh sebab itu usaha intervensi dalam proses perubahan yang
dilakukan oleh negara menuju tercapainya kesejahteraan, hal ini justru
mengganggu dan melemahkan dan akhirnya menghancurkan masyarakat itu sendiri.
Keyakinan Darwin dan Spencer dibangun atas asumsi bahwa masyarakat itu
merupakan subyek dari hukum alam. Pendapat kedua, perubahan linier progresif
itu bukan semata karena hukum alam seperti bekerjanya mikro organisme, akan
tetapi masyarakat itu berubah karena benturan kepentingan. Dasar pemikiran ini
lebih menjelaskan pada sebab terjadinya perubahan, yang dibangun oleh sebuah
logika dialektis. Seorang Sosiolog Islam Afrika di abad 14, Ibnu Khaldun, ia
meyakini bahwa sebab perubahan itu karena aktivitas manusia. Penjelasannya
mulai masyarakat nomaden sampai dengan masyarakat menetap, dijelaskan dengan
perspektif konflik kepentingan antarsuku. Penjelasan seperti ini juga diulangi
oleh para pemikir selanjutnya (Midgley, 2005:61)
Georg Hegel dan Karl Marx (Ritzer, 1983:15, Brewer, 2000:6, Medgley, 2005:63)
meskipun keduanya berada dalam logika berpikir yang sama, keduanya memiliki
perbedaan penjelasan tentang terjadinya perubahan sosial. Hegel menekankan
bahwa sebab perubahan itu adalah benturan perkembangan ide manusia, yang
diekspresikan melalui benturan antara tesis dan antitesis yang kemudian menyatu
dalam sintesis. Namun antitesis yang dikemukakan oleh Karl Marx untuk membantah
pemikiran Hegel adalah sebaliknya Bukanlah benturan ide yang menyebabkan
perubahan itu, akan tetapi karena konflik kepentingan materi. Tesis yang
diajukannya adalah justru ide itu berubah karena ada perkembangan materi yang
berubah (Susetiawan, 2000:11).
Adam Smith ( Midgley, 2005:62,
Rapley, 2007:15) merupakan orang yang pertama kali menyatakan bahwa perubahan
sosial itu terjadi karena aktivitas ekonomi manusia. Perubahan masyarakat dari
masyarakat berburu dan meramu sampai dengan masyarakat maju, yang ditandai oleh
industri manufaktur dan perdagangan asing, yang berakibat kepada kesejahteraan
manusia, semuanya ini adalah akibat dari aktivitas ekonomi manusia.
Perekonomian itu diatur oleh hukum alam sehingga menjadi sistem yang mandiri
dan mengatur dirinya sendiri. Pada awal revolusi industri, Smith menentang apa
pun ide intervensi pemerintah yang berlebihan terhadap para merkantilis,
bagaimana pun intervensi pemerintah harus minimalis, yakni menyediakan layanan
yang tidak disediakan oleh pasar.
Tokoh-tokoh ini semua
melukiskan perubahan sosial dengan menunjukkan tahap-tahap
perkembangannya, meskipun diantara mereka ada perbedaan cara
penyampaiannya. Seluruh pemikiran Karl Marx mengkritik sistem ekonomi politik
perkembangan kapitalisme liberal dimana basis pertarungan kepentingan materiil
ini menghasilkan proses dehumanisasi. Dia hadir justru sebagai bentuk
perlawanan dari para pemikir liberalis tentang perubahan sosial. Para pemikir
penganut perubahan secara interventif ini secara tidak langsung merupakan
sebuah antitesis terhadap pemikiran liberal. Intervensi pemerintah untuk
mendorong perkembangan perekonomian sangat diperlukan. Kerjasama antara para
aristokrat dan para borjuasi di Inggris pada awal revolusi industri justru
memberikan bantuan kepada para merkantilis untuk mendorong perkembangan
ekonomi. Para pemikir intervensionis ini bahkan menganjurkan bahwa pemerintah
harus turun tangan untuk mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat. Para
pemikir intervensionis, seperti Jean Babtiste Colbert pada abad 17 di Perancis,
Alexander Halmiton di Amerika dan Frederich List pada pertengahan abad 19 di
Jerman menunjukkan pentingnya intervensi pemerintah dalam membangun
perekonomian dan mengangkat kesejahteraan masyarakat. Pada akhirnya intervensi
negara juga meliputi bidang sosial untuk mengimbangi intervensi perkembangan
ekonomi.
Di akhir abad sembilan belas, Otto
von Bismarck mencanangkan asuransi sosial tenaga kerja untuk menjamin
kesejahteraan mereka sekaligus untuk mendapat dukungan partai sosialis Jerman.
Pemikir intervensionis ini juga berkembang selalu berhadap hadapan dengan para
pemikir non intervensionis, John Maynerad Keynes merupakan pemikir neo-klasik
yang mendukung pentingnya intervensionis. Pikiran ini menjadi legitimasi adanya
negara kesejahteraan (welfare state) dan sejumlah intervensi pembangunan
di negara berkembang oleh negara maju (Midgley, 2005:70).
Negara Kesejahteraan (welfare
state) merupakan perwujudan para pemikir intervensionis dimana intervensi
negara terhadap masyarakat akan membantu perkembangan ekonomi dan kesejahteraan
mereka, meskipun ini mendapat kritik dari para neoliberal (Anderson, 2002:14).
Pikiran mereka tidak menghapus negara kesejahteraan, akan tetapi para pemikir
ini menyetujui intervensi negara kepada masyarakat hanya untuk mereka yang
paling miskin (Midgley, 2005:62). Meskipun demikian halnya, kemunculan welfare
state berbeda-beda di setiap negara (Rothstein, 2002:3). Perkembangan
negara maju berlangsung dengan perdebatan tersendiri tentang kemajuan ekonomi
politik dari dua pemikiran di atas. Bagaimana pun hasil perdebatan ini
membuahkan hasil perbaikan kesejahteraan masyarakatnya hingga sekarang ini.
Pikiran interventif inilah jiwa dari
pemikiran pembangunan yang berlangsung di negara berkembang. Keadaan yang
berlangsung di negara berkembang agak berlainan. Intervensi negara dalam
perencanaan pembangunan guna meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat hasilnya berbeda. Program dan proyek pembangunan dalam kenyatannya
lebih menguntungkan para agen pembangunan, baik pemerintah, bisnis maupun
organisasi sosial, dari pada masyarakat pada umumnya (Tabb, 2001:65). Meskipun
para neoliberalis ini tidak menyukai intervensi negara secara berlebihan dalam
perkembangan masyarakat modern di Eropa dan Amerika, akan tetapi sikap
intervisonis para neoliberalis ini lebih banyak dimainkan terhadap negara
berkembang, yang membuat negara berkembang semakin tergantung pada pola
pembangunan yang disponsorinya melalui pendanaan hutang luar negeri. Bagaimana
pun ini semua dilakukan atas dasar kepentingan perluasan pasar produk
industrial yang telah diciptakan.
Kebijakan pembangunan di negara
berkembang banyak dicampuri agar mengikuti kepentingan mereka, yang dikaitkan
dengan kebijakan hutang luar negeri. Ada dua skema yang dilakukan untuk
mempengaruhi kebijakan pembangunan di negara berkembang, yakni melalui pemberian
hutang dan yang lain melalui pendanaan hibah lewat NGOs internasional yang
bekerjasama dengan NGOs nasional dan regional. Isu dan program pembangunan
negara berkembang disesuaikan dengan konseptualisasi mereka (Edward, 2004:15).
Oleh sebab itu pikiran neoliberalis yang menguasai perekonomian dunia dan yang
tergabung dalam perusahaan atau korporasi sejagad (Multi National
Corporation dan Trans National Corporation) mendanai dan sekaligus
menentukan konsep pembangunan.
Edelman (2006:1) menyebutkan bahwa
pembangunan itu adalah terminologi yang tidak stabil.
Is it an Ideal, an immagined future
toward which institutions and individual strive? Or is it destructive myth, an
insidious, failed chapter in the history of Western Modernity (Escobar 1995)
Conventionally ”development” may connote improvement in well being, living
standards, and opportunities. It may also refer to historical process of
commodification, industrialization, modernization, or globalization. It can be
a legitimizing strategy for states, and its ambiguity lends itself to discourse
of citizen entitlement as well as a state control.
Setiap orang yang mendefinisikan pembangunan memang
cenderung normatif, sesuatu yang diharapkan terhadap perubahan kekinian maupun
dimasa depan. Namun jika pembangunan itu mengakibatkan keadaan buruk yang tidak
diharapkan, tidak menghasilkan perbaikan masyarakat secara berarti. Demikan
juga terjadi pengkutuban hasil pembangunan oleh sebagian kecil warga negara
yang kekayaannya melimpah sedang sebagian besar warga negara menikmati sebagian
sisa dari apa yang telah dinikmati oleh orang kaya, akankah definisi normatif
itu selalu dipuja-puja?
Dalam realitas seperti ini maka
orang mengatakan bahwa pembangunan adalah sebuah bentuk eksploitasi milik
publik ke dominasi individu atau kelompok tentang hasil pembangunan. Hal yang
sama juga bisa dikatakan bahwa pembangunan itu adalah dominasi Barat atas
negara-negara berkembang yang semula adalah daerah koloni mereka. Kalau dulu
koloni adalah tempat pengambilan bahan baku, hasil perkebunan dan berbagai
tambang untuk perdagangan internasional, kini keberadaan yang dahulu adalah
koloni, negara itu secara yuridis adalah negara merdeka, akan tetapi pada
umumnya mereka secara sosiologis tidak merdeka karena kekayaan dan pasarnya
sudah dimiliki oleh negara yang mendanai pembangunan negara tersebut.
Kebanyakan konsep pembangunan yang berlangsung di negara berkembang adalah
berasal dari konseptualisasi pendonor pembangunan.
Para pemikir generasi kedua tentang
teori ketergantungan mengatakan bahwa pembangunan tidak akan membebaskan negara
berkembang dari ketergantungan mereka terhadap negara maju. Industrialisasi
negara berkembang hanya diraih oleh sebagian kecil negara, itu pun tidak muncul
dari pembangunan negara berkembang akan tetapi itu berasal dari negara maju.
Ini semua adalah maksud dari perusahaan di negara maju untuk mendapat
perlindungan pasar di negara berkembang dengan cara mendapatkan buruh murah
atau negara maju akan mengekspor teknologi industri padat modal ke negara
berkembang, yang sedikit menciptakan tenaga kerja yang semuanya itu
dilakukan oleh orang asing (Rapley, 2007:27). Di negara berkembang termasuk
Indonesia, pembangunan adalah sebagai sebuah cara, sedang kesejahteraan adalah
sebagai tujuan, faktanya telah terbelenggu atau terpasung oleh konstruksi
kepentingan yang dibangun oleh negara maju. Siapa pun aktornya dalam masyarakat
sipil, negara, bisnis dan organisasi sosial tidakberdaya (powerless)
membangun kreativitas dalam perspektif pemikirannya sendiri. Ini adalah
tantangan besar bagi Indosesia sebagai negara berkembang untuk mendapatkan
kebebasan mengkonstruksikan sendiri kesejahteraan macam apa yang dipahami oleh
masyarakat dan apa yang dibutuhkan, selanjutnya cara macam apa yang seharusnya
dilakukan oleh para pihak untuk membangun bangsa sesuai dengan keinginan
sendiri.
Kesejahteraan: Antara Konstruksi Organisasi Formal dan
Institusi Sosial
Pembangunan, apa pun penjelasan ideologisnya, merupakan sebuah upaya yang
dilakukan secara sengaja (intervention) dan terencana dalam rangka
mendapatkan hasil yang lebih baik dari kondisi kehidupan sebelumnya. Kondisi
kehidupan yang lebih baik seperti apa yang diinginkan dalam proses perubahan
itu, kata yang tidak pernah absen dari telinga setiap warga negara adalah
kehidupan masyarakat yang sejahtera. Oleh sebab itu, perdebatan tentangnya
berkembang menjadi perdebatan ideologis tentang bagaimana cara pencapaian
perubahan dan hasil dari proses perubahan itu sendiri, yang berhubungan dengan
kualitas kehidupan manusia. Kalau perubahan yang diharapkan lebih baik itu
adalah sejahtera sebagai sebuah kondisi yang dapat dirasakan oleh masyarakat,
pertanyaan tentangnya adalah berdasarkan basis apa hidup sejahtera itu
diletakkan, apakah sejahtera itu ditunjukkan oleh basis individu atau basis
komunitas, atau bahkan keduanya (Goodin, 1988:363, Fitzpatrick, 2001:11).
Misalnya orang yang secara
individual disebut kurang kecukupan dibanding yang lain dalam komunitasnya,
bisa saja mereka merasakan hidup sejahtera karena komunitas dimana orang itu
hidup menutup secara bersama-sama kekurangan mereka. Saling menjamin antara
satu dengan lainnya dalam komunitas bisa mendatangkan perasaan sejahtera.
Sebaliknya, orang yang secara individual kecukupan materi sedang komunitas tidak
berurusan dengan kehidupannya, selalu tidak tenang karena khawatir kalau
hartanya dirampok orang. Ini adalah sebuah kondisi yang menimbulkan perasaan
ketidaksejahteraan. Perdebatan tentang kesejahteraan sengaja tidak disampaikan
pada bagian ini sebab fokus utama bagian ini hendak menjelaskan tentang
dominasi organisasi formal diluar masyarakat untuk mengkonstruksikan
kesejahteraan dari pada institusi kesejahteraan yang berlangsung dalam
masyarakat.
Rasa aman sekurangnya menjadi salah
satu indikator yang menjadikan seseorang merasa sejahtera hidupnya. Singkat
kata, di level mana kesejahteraan itu hendak diletakkan dalam sebuah keputusan
politik, apakah hendak diletakkan pada kebijakan masyarakat (communitarian
policy) atau kebijakan negara ( public and social policy). Artinya,
rasa hidup sejahtera itu hendak dipikirkan atas konseptualisasi masyarakat itu
sendiri sesuai dengan lingkungan sekitarnya, atau rasa hidup sejahtera itu
ditentukan oleh keputusan politik negara yang indikatornya pun ditentukan oleh
negara. Bisa saja terjadi, apa yang dirasakan oleh negara bahwa masyarakat
kurang sejahtera oleh karenanya perlu intervensi program dan proyek
pembangunan, akan tetapi apa yang dirasakan masyarakat bisa berbeda
kebutuhannya. Misalnya masyarakat membutuhkan rasa aman dimana negara
diharapkan mampu menjamin ketenteraman, tidak sering terjadi pencurian ternak
peliharaannya, akan tetapi intervensi pembangunan justru menawarkan kredit
ternak dengan bunga yang rendah. Masyarakat mengartikan sejahtera sangat kualitatif,
yakni ada jaminan kemanan untuk mengamankan harta sapi mereka sehingga hidupnya
tenang, akan tetapi negara justru sebaliknya, yakni pertambahan ternak sapi
mereka yang diperoleh secara kredit sebagai indikasi semakin sejahtera hidup
mereka. Sejahtera ditangkap sebagaimana memahami kemiskinan, yang diartikan
karena ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan.
Pertanyaannya, apakah
ketidaksejahteraan masyarakat itu identik dengan kemiskinan? Kelihatannya ada
asumsi menyamakan keduanya, meskipun kemiskinan itu dapat merupakan salah satu
indikasi ketidaksejahteraan. Akhir dari semua jawaban ini adalah peningkatan
pendapatan perkapita, meskipun indikasi mutakhir tidak hanya dilihat pendapatan
perkapita, melainkan juga terpenuhinya kebutuhan hidup minimum seperti
kemampuan mengakses fasilitas kesehatan, pendidikan dan pemenuhan nutrisi.
Guna pemenuhan kebutuhan minimum
ini, pada akhirnya masyarakat juga harus memiliki sejumlah uang yang cukup
untuk itu. Indikator batas garis kemiskinan yang digunakan secara universal
adalah 2 $. Orang yang pendapatannya kurang dari 2$ perhari disebut orang
miskin. Kalau ukuran kemiskinan seperti ini digunakan, maka orang berpendapatan
rendah di negara maju bisa saja dianggap kaya di negara berkembang. Namun
tidaklah demikian bahwa ukuran angka kemiskinan tersebut di atas hanyalah
diperuntukkan negara berkembang dan negara belum berkembang. Ilmu pengetahuan
telah menempatkan standar ganda dalam pengukuran kemiskinan antara negara maju
dan berkembang (Chrossudovsky, 2003:30) Demikian halnya jika ukuran ini
digunakan untuk melihat standar pemenuhan kebutuhan hidup per keluarga, ini
menjadi sangat problematik. Menstandardisasi pengukuran angka kemiskinan
tidaklah mudah, yang semuanya ini membuka ruang perdebatan untuk memahami konsep
kemiskinan. Perdebatan itu sekurangnya menempatkan paham tentang kemiskinan
absolut (universal standart) dan kemiskinan relative. Kalau kemiskinan
absolut dan relatif masih menekankan pada ukuran materiil, meskipun pada
kemiskinan relative orang miskin diukur dengan cara membandingkan dengan orang,
kelompok lain atau orang yang tinggal di wilayah tertentu dengan wilayah lain,
namun ada yang meletakkan konsep kemiskinan berdasarkan atas pandangan yang
bukan bersifat materiil. Miskin dilihat dari kemampuan kreativitas seseorang
atau lembaga untuk melakukan kerja guna pemenuhan kebutuhan hidup, meskipun hal
ini tidak harus mengabaikan kebutuhan dasar (Levine and Rizvi, 2005:76).
Walaupun pendapatan perkapita seseorang itu rendah, dapatkah serta merta mereka
dikatakan tidak sejahtera hidupnya?
Kesejahteraan masyarakat, istilah yang sering digunakan dalam terminologi
akademik adalah kesejahteraan sosial, mengalami pergeseran dalam pemahaman dan
penggunaannya. Kesejahteraan sosial itu menunjuk kondisi kehidupan yang baik,
terpenuhinya kebutuhan materi untuk hidup, kebutuhan spiritual (tidak cukup
mengaku beragama tetapi wujud nyata dari beragama seperti menghargai sesama),
kebutuhan sosial seperti ada tatanan (order) yang teratur, konflik dalam
kehidupan dapat dikelola, keamanan dapat dijamin, keadilan dapat ditegakkan
dimana setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, tereduksinya
kesenjangan sosial ekonomi. Midgley (2005:21) mengkonseptualisasikan dalam tiga
ketegori pencapaian tentang kesejahteraan, yakni pertama, sejauh mana masalah
sosial itu dapat diatur. Kedua, sejauh mana kebutuhan dapat dipenuhi dan
ketiga, sejauh mana kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat diperoleh.
Semuanya ini bisa diciptakan dalam kehidupan bersama, baik ditingkat keluarga,
komunitas maupun masyarakat secara luas.
Tentu, semua ini dapat berbeda di
tingkat kehidupan sosial satu dengan lainnya. Indikator ini juga tidak dapat
digeneralisasikan. Dalam realitas keseharian, kata kesejahteraan sosial menjadi
bergeser penggunaannya, yakni sebagai kegiatan philantrophy (amal),
program layanan sosial, bantuan publik yang dilakukan pemerintah untuk orang
miskin dan terlantar serta program pelayanan sosial dari organisasi sosial yang
bersifat formal berbadan hukum. Ketika kesejahteraan sosial bergeser maknanya
dari kondisi well being ke bentuk program layanan kesejahteraan
sosial, lembaga publik menjadi sibuk berurusan membuat program pelayanan.
Ketika program selesai dibuat dan diimplementasikan, keuangan bisa dipertanggungjawabkan
maka selesailah sudah pekerjaan yang dilakukan berkaitan dengan kesejahteraan
sosial.
Konsep kesejahteraan sosial menjadi
spesifik dan sempit, yang menjadi klaim pekerjaan tertentu dari departemen
tertentu pemerintahan di Indonesia, seolah-olah ini telah menjadi urusan
Departemen Sosial atau Menkokesra. Dalam UU Kesejahteraan Sosial pasal 4,
Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Dalam pasal
5 ayat 2, penyelenggaraan kesejahteraan sosial itu diprioritaskan pada
kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial
(penyimpangan perilaku), korban bencana ( bukankah yang terakhir ini sudah
diatur di UU Penanganan Bencana?), korban tindak kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi.
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial
meliputi kegiatan rehabilitasi, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan
perlindungan sosial. Semua ini dominasinya sektor publik, yang akan memberi
legitimasi atau sahnya perencanaan dan program kegiatan. Dalam konteks ini
konsep kesejahteraan adalah dominasi keputusan organisasi formal yang dilakukan
baik oleh organisasi publik (negara), masyarakat maupun organisasi ekonomi
dalam pelayanan kesejahteraan sosial dan bukan sebuah institusi kesejahteraan
masyarakat (communitarian welfare) yang terpola dalam kehidupan
masyarakat itu sendiri.
Welfare pluralism pun menunjuk penyelenggaraan
kesejahteraan sosial yang dilakukan oleh organisasi formal yang tidak hanya
terbatas pada organisasi publik melainkan juga organisasi sosial dan ekonomi.
Ini semua adalah organisasi penyelenggara program layanan sosial
organisasional, yang sering kali berdiri diluar masyarakat yang dilayani. Pada
umumnya organisasi itu bukan menunjuk sebuah institusi kesejahteraan masyarakat
yang telah lama ada dan terpola di dalam masyarakat itu sendiri. Pendek kata
perumusan tentang sejahtera adalah dominasi kepentingan penyelenggaraan layanan
bantuan sosial dari luar masyarakat yang dilayani, sedang masyarakat sendiri
menempati posisi subordinat dalam merumuskan apakah dirinya sejahtera atau
tidak. Perilaku sejahtera seperti ini lah menjadi solusi system kesejahteraan
yang dilakukan oleh organisasi formal, termasuk negara (Schiller, 2008:255),
yang mampu memberi pelayanan akan tetapi tidak mampu menciptakan kondisi.
Pertanyaannya mengapa konseptualisasi hidup sejahtera lebih didominasi oleh
organisasi penyelenggara pelayanan sosial? Jawaban atas pertanyaan ini sangat
erat kaitannya dengan hubungan relasional para pihak dalam masyarakat sipil (civil
society), yang keberadaannya di negara berkembang banyak ditentukan oleh
dominasi pandangan global yang berbasis pada paham neoliberal.
Oleh sebab itu, menurut hemat
penulis, ukuran kuantitatif seperti kemiskinan dan kesejahteraan oleh
para pihak merupakan kreasi pikiran penguasa global dalam memfasilitasi program
dan proyek pembangunan. Misalnya pemberdayaan (empowerment), gender,
justice dll merupakan istilah baru dalam proyek pembangunan, yang tercipta dari
rezim pendanaan internasional. Para pihak di negara Indonesia, baik organisasi
publik, sosial dan bisnis, dalam arena civil society adalah pelaku dan
pengimplementasi konsep dan program pembangunan. Konsep kesejahteraan sebagai
tujuan akhir pembangunan didominasi oleh organisasi formal, yang fungsinya
sebagai pelaksana pelayanan sosial dari gagasan penguasa global. Kelompok
masyarakat sebagai sasaran program, tetap saja sebagai obyek, yang kehilangan
kedaulatan untuk menempatkan dan menyatakan diri mereka sendiri dikancah ruang
pembangunan bangsa.
Negara
Indonesia: Kepatuhan terhadap Para “Pebisnis Pembangunan”
Isu kemiskinan (poverty), kesejahteraan (welfare),
demokratisasi, desentralisasi, kesamaan hak laki-laki dan perempuan (gender),
pemberdayaan (empowerment), keadilan (justice), tata kelola (governance),
kemanusiaan (humanity), anti privatisasi dan seterusnya merupakan reaksi
dari realitas yang sedang berlangsung di negara berkembang. Pada umumnya negara
berkembang semasa membangun menghasilkan pembangunan yang tidak banyak
membuahkan kesejahteraan masyarakatnya. Di Indonesia hal ini ditandai dengan
tingkat kesenjangan, baik terjadi antarpenduduk maupun antarsektor (Pogge,
2002:2, Sumodiningrat, 2006 :30-31).
SHAPE \* MERGEFORMAT
|
TNC/ MNC
|
|
UNI EROPA
|
|
USA
|
|
Konstruksi Ide Pembangunan dan Industrialisasi di
Dunia /Neg Berkembang
|
|
International NGOs
|
|
IMF
|
|
World
Bank
|
|
WTO
|
|
GATT
|
|
PARA KAPITALIS DUNIA DAN PARA IDEOLOG KAPITALIS YANG
BERADA DI NEGARA- NEGARA BERKEMBANG SEBAGAI PINTU MASUK IDEOLOGI PASAR
BEBAS
|
|
NEGARA
Pedagang
Militer
Birokrat
Sosok Birokrasi Neg
|
|
ODA/
OECD
|
|
FREE
MARKET IDEOLOGY
|
|
NEOLIBERALSME
|
|
NGO NAS
|
|
NGO LOKAL
|
|
EKONOMI
PRIVATISASI
PENGGUSURAN
TANAH
EXPLOITASI
LINGKUNGAN ALAM
|
|
POLITIK
DE-DEMOKRASI
STRONG
STATE
KEBIJAKAN SENTRALISTIK
MINIM
PELAYAN-AN SOSIAL
|
|
SOSIAL
KEMISKINAN
PENINDASAN
HAK PENGA-NGGURAN
MASALAH
SOSIAL LAINNYA
|
|
BUDAYA
PENGHANCURAN:
BUDAYA LOKAL
LOCAL
WISDOM
LOCAL
KNOWLEDGE & TECHNOLOGY
|
|
ODA (Official Development Assistance)
OECD (Organization for Economic Cooperation
and Development )
|
Diagram ini
dikreasikan sendiri oleh penulis dengan mengambil bahan dari Yayasan Cindelaras
dan hasil pemahaman penulis dari presentasi George Junus Aditjondro saat
presentasi bedah buku Dewa Dewa Pencipta
Kemiskinan.
Kritik NGO internasional terhadap
berbagai isu seperti demokratisasi, privatisasi, ketidakadilan, ketimpangan,
kerusakan lingkungan dan seterusnya di negara berkembang, yang bekerjasama
dengan NGO nasional, adalah lebih banyak didanai oleh lembaga-lembaga bantuan
internasional seperti USAID, AUSAID, SIDA dst. Ini adalah kaki kiri mereka,
sedang kaki kanannya mendanai dengan skema hutang untuk mendorong negara
berkembang agar menciptakan pertumbuhan ekonomi melalui pasar bebas,
privatisasi, dan explotasi sumber alam besar-besaran dengan minim pelayanan
sosial, sebab besarnya pelayanan sosial identik dengan pemborosan.
Para pelaku ekonomi lebih suka
dengan perdagangan import yang menguntungkannya. Mereka kelihatannya tidak
berkehendak mendorong kelahiran teknologi dan perkembangan industri lokal yang
dirasa tidak banyak untungnya. Dalam posisi ini, para pihak (stakeholders)
yakni baik negara, NGOs dan pelaku bisnis terasa takberdaya melawan konstruksi
neoliberal yang semakin menguasai dunia, atau mungkin saja bahwa mereka adalah
bagian dari neoliberalisme (komprador) itu sendiri. Mereka adalah pelaku bukan
konseptor kegiatan, yang mengalir dan mengikuti kehendak kepentingan prisip
ekonomi politik neoliberal. Ini semua menjadi sangat kuat ketika perguruan
tinggi menjustifikasi perilaku pasar bebas, berusaha keras mengikuti arus
internasionalisasi, privatisasi pendidikan, mendapatkan label ISO sebagai
derajad kebanggaan tertinggi dari sebuah universitas di Indonesia. Perilaku
kebijakan untuk pembangunan bangsa diwarnai oleh aktor yang sangat patuh
terhadap prinsip neoliberalisme.
Seluruh investasi negara maju dan
pengumpulan dana masyarakat melalui pajak, yang dialokasikan untuk bantuan
pembangunan di negara berkembang, mendulang keuntungan yang luar biasa besar
dari bisnis pembangunan. Bank dunia dan IMF mendapatkan keuntungan dari bisnis
peminjaman, sedang NGO internasional mendapat untung besar dari bisnis bantuan.
Di negara berkembang dimana negara itu sedang membangun infrastrukturnya
seperti membangun dam, irigasi, jalan raya, pembangunan jembatan, pembangkit
tenaga listrik, pembangunan rel kereta api, pelabuhan, pangkalan udara,
pemberantasan hama, pabrik bibit, pabrik pupuk, bangunan sekolah, hotel, sarana
kesehatan, peternakan, pabrik semen, proyek keluarga berencana, pembangunan rumah
sakit, perbaikan institusi, perencanaan pembangunan nasional dll, semuanya itu
tidak lepas dari bisnis pembangunan mereka yang dikelola oleh Bank Dunia, IMF
dan berbagai lembaga keuangan internasional lainnya seperti ODA (Official
Development Assistance) yang dananya berasal dari kurang lebih 18 negara
maju (Hancock, 2005:94).
Salah satu contoh, dalam pelaksanaan
pembangunan pertanian di negara berkembang, FAO melibatkan diri secara langsung
dengan memberikan bantuan tenaga ahli, mengembangkan pendidikan dan pelatihan,
mengembangkan dan mempraktekkan teknologi baru di bidang pertanian. Hampir
semua lembaga internasional merupakan alatnya kapitalisme neoliberal.
Organisasi internasional seperti ini memiliki kuasa yang sering kali membuat
negara berkembang tidakberdaya. Mereka melakukan kontrol, jika dibantah maka
solidaritas lembaga-lembaga internasional ini segera menghukum pembangkangan
mereka. Ketika Amerika Serikat memerintahkan bahwa negara berkembang harus
menghapus berbagai subsidi yang berlebihan, meniadakan pembatasan-pembatasan
perdagangan maka negara maju lainnya seperti Perancis, Jerman, Jepang dan
Italia juga akan meneriakkan suara yang sama. Negara negara ini akan mengikuti
kepemimpinan Bank Dunia dan IMF. Jika ada negara berkembang yang menentang
kebijakan baru mereka maka keduanya akan melakukan penekanan yang sama.
Demikian juga lembaga keuangan lainnya juga akan melakukan tekanan yang sama
termasuk negara-negara kaya (Chosssudovsky, 2003:103, Hancock, 2005: 93-131,)
Oleh sebab itu, sebagai salah satu contoh, pembangunan pertanian di
Indonesia yang dikenal dengan Revolusi Hijau, sejak awal pembangunan itu
dimulai telah dikawal oleh FAO, baik secara konseptual maupun teknis.
Pembangunan komersialisasi pertanian melalui revolusi hijau itu promosinya
adalah meningkatkan produksi, peningkatan pendapatan petani dan kesejahteraan
untuk memberantas kemiskinan. Seluruh model produksi lama telah dibongkar, baik
mulai dari cara produksi, alat produksi sampai dengan hubungan produksinya.
Tidak hanya sebatas pada model produksi, konseptualisasi kemiskinan dan
kesejahteraan pun juga bergeser kearah konseptualisasi materiil semata, yang
dibimbing oleh para ahli yang didatangkan dari negerinya para “pangeran
pebisnis pembangunan” (the lords of development business).
Pertanyaannya, apa yang telah diperoleh oleh para petani dari usaha pembangunan
pertanian yang sudah berlangsung selama hampir empat puluh tahun?
Program pembangunan pertanian dengan
Panca Usaha Tani, yakni pengolahan tanah dengan traktor, penggunaan bibit
unggul produksi pabrik, pengunaan pupuk unorganik, pemberantasan hama dengan
pestisida dan pembangunan irigasi yang menelan biaya sangat besar, biaya ini
bukan hanya finansial melainkan juga biaya sosial ekonomi yang harus dipikul
oleh masyarakat. Biaya yang bersifat materiil adalah jelas, semua alat produksi
itu adalah alat produksi baru yang diperoleh oleh petani dengan cara membeli.
Hal lain yang tidak terasa adalah hilangnya teknologi lokal yang semula
dimiliki oleh petani dengan cara membuat sendiri seperti penyemaian bibit dan
bukan membeli bibit, baik varietas benih padi yang semula banyak sekali
variasinya kini telah lenyap. Kalaupun itu sekarang masih ada, jumlahnya
sedikit, yakni benih yang dikembangkan oleh para petani tertentu sebagai reaksi
kegagalan pembangunan pertanian tanaman pangan padi.
Benih tanaman selain padi seperti jagung dan kedelai menjadi langka. Benih baru
berdatangan dari luar negeri. Pada umumnya petani mengadopsi sistem baru
ini dengan beban biaya yang cukup tinggi sebab semua alat produksi itu harus
dibeli. Ironisnya, biaya produksi semakin mahal, meski ditunjukkan dengan
adanya peningkatan produksi, akan tetapi pendapatan petani juga tidak
meningkat. Tanaman pangan padi tidak akan mungkin menguntungkan petani sebab
padi harus dipertahankan murah oleh pemerintah untuk memelihara stabilitas
politik dan keamanan serta menjaga radikalisasi sosial bagi mereka yang
kekurangan makan. Pembangunan pertanian yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
pangan, kini pemenuhan bahan pangan banyak dipenuhi dengan cara import,
misalnya bawang putih (90%), susu (70%), kedelai ( 70%), garam (50%),
gula (30%), daging sapi (25%), jagung (10%), beras (3,5%) (Maksum, 2009).
Ironisnya lagi berbagai bahan mentah
yang telah diproduksi, selanjutnya diekspor. Kecenderungan untuk mendorong
tumbuhnya industri sendiri sangat rendah sebab lebih menguntungkan berdagang
dari pada berindustri. Misalnya antara lain minyak sawit, karet, cokelat,
minyak bumi, Indonesia memasuki pasar export, namun kebutuhan ban mobil, bensin
dsb, Indonesia harus import. Mulai perkebunan sampai tambang potensi exportnya
besar, demikian juga kebutuhan produk industrial dari barang yang siap
dikonsumsi diperoleh dengan cara import. Prinsip pencapaian pertumbuhan ekonomi
tidaklah mutlak dilakukan dengan cara membuat industri manufaktur sendiri,
melalui perdagangan dapat juga memberi kontribusi besar untuk perkembangan
ekonomi. Namun ini semuanya lebih banyak menguntungkan para pedagang dari pada
masyarakat pada umumnya. Hilangnya kedaulatan semakin tampak jelas bahwa bangsa
ini adalah bangsa yang pemimpinnya patuh terhadap para “pangeran” pebisnis
pembangunan. Di era pembangunan yang mendorong berkembangnya industri, negara
Indonesia tidak menghasilkan para industriawan akan tetapi mencetak lebih
banyak para pedagang atau para usahawan instant yang pekerjaannya lebih banyak
pemburu rente.
Kini telah mulai berkembang
pertanian organik (organic farming) yang dilakukan oleh petani.
Pertanyaannya, apakah cara pertanian ini merupakan sebuah ide resistensi dari
pembangunan pertanian yang tidak menguntungkan petani selama periode
pembangunan, atau cara ini juga merupakan ide dari negara maju sebab
mereka telah mengembangkan jenis makanan yang tidak banyak tercemar oleh bahan
kimia karena tuntutan pasar? Ini perlu kajian yang lebih dalam. Apa yang
diimpikan untuk mendorong lahirnya kembali kedaulatan petani dalam pertanian
organik, ternyata tak sepenuhnya ide perlawanan, akan tetapi ide kebutuhan pasar
bebas juga. Meskipun itu didorong oleh kehendak pasar akan tetapi prinsip
kedaulatan masih terjaga.
Guna membantu meringankan biaya
produksi pertanian pangan, pemerintah telah memberikan subsidi pupuk melalui
pabrik pupuk. Subsidi pupuk yang diberikan oleh pemerintah kepada petani juga
tidak dinikmati oleh para petani. Para pengusaha perkebunan besar dapat
memperoleh pupuk murah dari perusahaan yang seharusnya diberikan kepada petani.
Ini lah kesulitan petani, ketika musim tanam tiba, sering kali tidak tersedia
pupuk di pasaran dan kalau toh ada, harganya mahal. Fakta seperti ini
menunjukkan bahwa pemerintah bukan mensubsidi petani gurem akan tetapi
mensubsidi pengusaha perkebunan besar.
Ini semua bukan hanya persoalan
Indonesia, pernyataan Norman Uphoof, Milton J. Esman dan Anirudh Krishna
(1998) dalam pengantar buku yang ditulis, yakni Reasons for Success,
Learning from Instructive Experience in Rural Development, perlu disimak:
The majority of failure in rural
development project and programs stem not, we are convinced, from any intrinsic
incapacity among rural people but rather than from ways that governments, donor
and international agencies, and some nongovernmental organizations usually
proceed
Pembangunan sektor industri manufaktur untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi dan
penyerapan tenaga kerja sebesar besarnya, sebagi konsekwensi komersialisasi
pertanian tidak tumbuh dengan baik. Akibat selanjutnya adalah banyak angkatan
kerja muda di desa bergeser ke kota dengan demikian bertambahnya pengangguran
di kota tidak dapat dielakkan. Kalau dilihat dari angka pengangguran terbuka
secara keseluruhan di Indonesia termasuk rendah (8,81%) per tahun. Akan tetapi
jika angka pengangguran dilihat juga bagi mereka yang berstatus setengah
pengaggur atau mungkin pengagguran musiman maka jumlahnya akan menjadi lebih
besar dari itu.
TABEL. 2
ANGKA
PENGANGGURAN DI INDONESIA
1999-2008
|
TAHUN
|
TOTAL
|
|
|
JUMLAH JUTA
|
%
|
|
|
1999
|
6,03
|
6,36%
|
|
2000
|
5,81
|
6,07%
|
|
2001
|
0,08
|
8,10%
|
|
2002
|
9,13
|
9,06%
|
|
2003
|
9,53
|
9,50%
|
|
2004
|
10,25
|
10,14%
|
|
2005
|
10,85
|
10,30%
|
|
2006
|
11,10
|
10,40%
|
|
2007
|
10,55
|
9,75%
|
|
2008
|
9,43
|
8,39%
|
|
Rata 10 th terakhir
|
8,27
|
8,81%
|
Sumber data
: BPS (1999-2008)
Akibat dari semua ini, solusi utama
tentang kesejahteraan materiil dari hasil bekerja di berbagai sektor tidak
banyak diperoleh oleh masyarakat. Dari segi ekonomi, sektor usaha yang
menawarkan sebanyak banyaknya kesempatan kerja jumlahnya sedikit dibandingkan
dengan jumlah penduduk pencari kerja. Kemunculan pekerjaan sektor informal yang
semakin banyak adalah akibat dari tidak berkembangnya sektor riil yang
diharapkan banyak menampung tenaga kerja. Jika kesejahteraan dan kemiskinan itu
semata-mata dilihat dari ukuran materiil maka persoalan kemiskinan dan kesejahteraan
hanya akan menjadi obyek pembangunan. Proyek pengentasan kemiskinan merupakan
bentuk intervensi negara akibat ketidakmampuannya mendorong tumbuhnya sektor
industri riil yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.
Siapa yang diuntungkan dari
kreativitas program pengentasan kemiskinan guna mencapai hidup sejahtera?
Program program pembangunan itu dirancang baik indikator keberhasilannya maupun
ukurannya ditentukan oleh organisasi formal yang menangani kemiskinan. Sejauh
pengamatan penulis, kelihatannya belum ada indikator dan ukuran tentang
kemiskinan maupun ukuran tentang kesejahteraan yang didefinisikan menurut
masyarakat itu sendiri, lalu diadopsi oleh program pemerintah. Kalau hal itu
dilakukan, ada kemungkinan bisa menggagalkan bisnis pembangunan. Pertanyaan
selanjutnya adalah, apa implikasi pembangunan seperti ini? Model pembangunan
yang menekankan pencapaian ukuran materiil untuk menentukan kesejahteraan,
dengan tidak terasa, telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat.
Membangun masyarakat sama artinya dengan memberikan sesuatu yang bersifat
materiil kepada masyarakat, sebuah pendekatan yang sangat bersifat filantrofis.
Seorang pemimpin politik untuk
mendapatkan dukungan masyarakat dalam pemilu pun melakukan hal yang sama, yakni
mengobral uang (money politics) untuk mendapatkan dukungan. Money
politics seperti ini menunjukkan tidak adanya kepastian hukum yang
seringkali memunculkan political violence, yang menghambat stabilitas
ekonomi (Kerbo, 2006:120). Kalau sekarang masyarakat selalu menuntut
pembangunan fisik maupun uang terhadap siapa saja yang datang untuk
memfasilitasi pembangunan, ini akibat pembangunan yang salah urus dari para
pemimpinnya. Selanjutnya, cara pemimpin untuk mendapatkan simpati dari
masyarakatnya adalah dengan cara transaksional, setelah transaksi selesai,
urusan pemimpin adalah mencari sesuatu untuk dirinya sendiri sebab biaya
materiil yang dikeluarkan untuk dipilih oleh rakyat sangat besar jumlahnya.
Jika cara ini terinstitusionalisasikan menjadi sebuah kebudayaan, kepemimpinan
nasional akan diperoleh dengan cara transaksional materiil. Pada tingkat ini,
bangsa Indonesia akan mendapatkan pemimpin nasional yang lebih bersifat
pedagang dari pada negarawan.
Kesejahteraan: Sebuah Konstruksi Komunitas
Sebelum sampai pada uraian tentang bagaimana antara negara dan pada umumnya
masyarakat untuk memandang kesejahteraan, perlu disimak beberapa contoh negara
lain. Dibalik kemajuan sebuah bangsa yang selalu diukur oleh ukuran yang serba
materiil, terutama negara-negara Eropa, Andorra merupakan sebuah negara kecil
yang terletak antara Perancis dan Spanyol, sebelah timur pegunungan Pyrenees.
Negara ini rara-rata tingkat harapan hidup (life expectancy) penduduknya
83.5 tahun dan beberapa dari mereka hidup hingga 90 tahun. Negara ini sudah
tujuh abad tidak pernah konflik dengan negara luar dan oleh karenanya tidak
memiliki tentara. Penduduknya gemar berolah raga, memelihara udara bersih,
makan sedikit daging atau daging yang tak berlemak, banyak makan sayuran,
mengkonsumsi minyak zaitun dan memelihara kesehatan yang baik. Barang kali
salah satu rahasia hidup adalah tingkat strees yang rendah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 30% ada faktor genetis yang menyebabkan hidup panjang, namun
70% diperkirakan dari gaya hidup (lifestyle) mereka. Negara yang dilihat
terisolasi dari negara Eropa itu penduduknya sangat damai. Setelah dewasa orang
hidup harus berpasangan dan harus menjaganya, memiliki kewajiban membantu satu
dengan lainnya, memiliki hak yang sama untuk menjamin ketahanan sosial (Henley,
2008, BBC News)
Ini tidak hanya terjadi di satu negara melainkan juga terjadi dalam beberapa
masyarakat dibeberapa negara. Di Sardinia Itali, di Okinawa Jepang dan di
Loma Linda California AS, adalah contoh dimana terdapat penduduk yang rata-rata
hidupnya berumur panjang di atas 80 tahun. Dari beberapa wilayah yang terpisah
ini umumnya terdapat kebiasaan yang serupa, meskipun ada perbedaan latar
belakang dan keyakinannya. Rata-rata rahasia hidup berumur panjang itu karena
gaya hidup mereka. Pada umumnya mereka hidup dengan gaya tradisional,
mengutamakan keluarga, ramah dengan orang lain, menghargai antar sesama atau
mencintai sesama dan mengutamakan pergaulan dalam kehidupan, selain itu juga
tidak pernah menggerutu. Pada umumnya mereka gemar berolahraga dan berkegiatan.
Merawat dan memelihara orang tua dalam satu keluarga dan bukan mengirimkannya
ke rumah jompo. Mereka pada umumnya gemar makan sayuran dan buah-buahan dan
tidak merokok, bahkan orang Lomba Linda di Kalifornia hidup dengan tidak
menyantap daging sapi, kambing dan babi yang dianggap tidak suci menurut Agama
Advent Hari Ketujuh. Orang Okinawa, agama menjadi bagian penting meskipun agama
yang dianutnya berbeda dengan orang Lomba Linda, yakni berkeyakinan Khong Hu Cu
( National Geographic Indonesia : 2005).
Tingginya harapan hidup merupakan salah satu indikasi kesejahteraan. Apa yang
dapat dipetik dari pelajaran mengenai masyarakat dibeberapa negara ini?
Sejahtera bukan lah satu satunya diukur atas capaian materiil. Kalau dilihat
dari apa yang telah dicapai oleh penelitian tentang beberapa masyarakat
tersebut di atas, sejahtera juga dipahami secara sosial, psikologis, hiegenis,
dan terpeliharanya kebugaran tubuh (George, 1995:1). Dari segi sosial, mereka
ramah dengan orang lain, mengutamakan keluarga dan menghindari konflik.
Meskipun tidak tampak dari cerita di atas, kemungkinan keadilan distributive (just
distribution) menjadi komponen yang dipertimbangkan juga. Secara
psikologis, mereka diikat oleh keyakinan dan tidak menggerutu. Secara hiegenis,
makanan yang dikonsumsi tidak mengandung unsur lemak tinggi, secara fisik,
mereka pada umumnya tidak pernah berhenti berkegiatan dan berolah raga.
Orang-orang ini hidup dalam masyarakat, yang tidak terpengaruh oleh kehidupan
modern. Kalau disimak, mereka pada umumnya memiliki cara perumusan sejahtera
yang amat berbeda dengan ukuran sejahteranya konstruksi modernitas dimana
kesejahteraan itu lebih banyak dilihat dari pemenuhan kebutuhan materiil yang
dikonstruksikan oleh pasar.
Barangkali rasa sejahtera seperti ini, dilihat dari pandangan masyarakat
modern, merupakan cara hidup tradisional sebab banyak hal yang sulit diukur
secara kuantitatif sebagaimana pencapaian kesejahteraan secara individual
dengan ukuran materiil. Bagaimana ketenteraman, pemahaman keyakinan hidup,
keramahan dan sikap tidak menggerutu dalam kehidupan adalah menjadi bagian
perasaan yang terdalam dalam hidup sejahtera. Indikator seperti ini
kemungkinan besar terdapat juga dalam masyarakat Indonesia meskipun kehidupan
seperti ini adalah bagian yang tersisa dari kehidupan masa lalu. Cara hidup
seperti ini sangat lazim dalam masyarakat tradisional di desa, dimana tidak
ditandai oleh gaya hidup kelimpahan materiil dan sangat sederhana. Komunitas
memegang peranan penting bahwa kesejahteraan seseorang sangat ditentukan oleh
bagaimana komunitas mengelola institusi kesejahteraan yang menjamin para
anggotanya. Pada masa lalu desa-desa di Jawa memiliki lumbung padi. Lumbung ini
menjadi cadangan pangan bagi penduduk desa tatkala paceklik terjadi. Lumbung
padi yang dihimpun dari pengumpulan padi setiap penduduk esensinya adalah
ketahanan komunitas, yakni kedaulatan pangan (food sovereignity)
sekaligus adalah ketahanan pangan (food security) bagi penduduk desa.
Tentu dalam kehidupan bersama, desa selalu memiliki institusi resolusi konflik.
Harmoni menjadi bagian yang didambakan untuk memahami kesejahteraan. Saling
menjamin antartetangga jika terjadi kesulitan. Konsep Patron-Klien (pattern
client relationships) dalam konseptualisasi pikiran materiil dan
individualis adalah sebuah bentuk eksploitasi dari patron ke klien, namun
institusi seperti ini adalah hubungan yang saling menjamin antara pemilik tanah
luas dan tak bertanah (landless). James C. Scott (1976:41) mengatakan
bahwa keduanya saling memiliki kewajiban moral (moral obligations),
seperti orang yang numpang tinggal ditanahnya orang kaya “ngindung” memiliki
kewajiban moral terhadap yang ditumpangi, demikian sebaliknya.
Di tengah masyarakat Indonesia yang sedang berubah dimana kesejahteraan
ditentukan atas ukuran individual yang ditandai oleh peningkatan pendapatan dan
pemilikan, institusi kesejahteraan yang berbasis komunitas (community
welfare) dalam beberapa hal masih tampak di pedesaan maupun kampung
pinggiran kota. Kerangka ini tidak dapat ditangkap oleh kerangka organisasi
formal pelayanan kesejahteraan sosial (Narayan, 2007:141). Institusi itu
antara lain adalah kematian, sakit, hajatan dan berbagai bentuk kegiatan
untuk kepentingan bersama yang dipikul secara bersama-sama. Perilaku sosial
seperti ini juga diamanatkan oleh agama sebagai kepedulian terhadap kemanusiaan
(Barusch, 2005:131)
Misalnya kematian, sekarang
ini orang mati pun harus membayar ketika hendak dikuburkan. Biaya yang
dikeluarkan oleh sanak keluarga mulai dari bedah bumi sampai dengan
menjamu para pelayat tidak bisa lepas dari biaya ekonomi dari para keluarga.
Namun orang yang meninggal tatkala mereka masih hidup telah mengasuransikan
hidupnya kepada komunitas dengan cara ikut menyumbang ketika ada tetangganya
yang meninggal. Ini lah yang disebut dengan community insurance (Banerjee,
2006:369). Dalam struktur masyarakat modern yang berbasis kepada
kepentingan individu, kegiatan seperti ini ditangkap sebagai kegiatan pemborosan.
Orang ketika dilihat dari ukuran materiil adalah miskin namun dalam kehidupan
sosialnya masih membagi-bagikan apa yang dimiliki untuk menjamin
keberlangsungan komunitas (shared poverty). Konsep membagi kemiskinan
dikemukakan oleh salah satu Indonesianis, yakni Clifford Geertz yang menyoroti
tentang perkembangan masyarakat Indonesia saat memasuki modernisasi dimana
perubahan itu ditunjukkan ada perkembangan namun perkembangan itu tidak
menunjukkan peningkatan (involution). Tentu, kerangka konseptualnya
untuk menyebutkan shared poverty terhadap perkembangan masyarakat
Indonesia karena ia melihatnya dari cara pandang capitalist mode of
production.
Keluarga besar yang diikat oleh komunitas masih berlangsung ditengah
perkembangan masyarakat yang sudah mulai individualis atas konstruksi
kapitalisme. Keluarga besar, dalam pengertian ikatan komunitas ini, merupakan
institusi yang membawa masyarakat itu tetap exist, meskipun banyak pihak
dalam institusi kesejahteraan modern menganggapnya komunitas itu miskin. Salah
satu contoh masyarakat Gunung Kidul, ketika mereka menengok sanak keluarganya
atau tetangganya yang sedang menderita sakit dan harus dirawat di rumah sakit,
mereka tidak membawa roti, buah buahan atau sejenis makanan lain seperti layaknya
orang kota sebagai kepedulian untuk ikut sependeritaan. Mereka satu persatu
menyisihkan uangnya untuk diberikan kepada sisakit atau keluarganya. Ini adalah
sebuah rasionalitas dimana penderitaan dipikul secara bersama-sama oleh anggota
komunitas. Kiranya banyak hal yang ditegakkan oleh komunitas ini sebagai sebuah
institusi kesejahteraan.
Bagi anak-anak desa atau kampung
biaya pendidikan seringkali juga dibantu oleh keluarga yang mampu. Pada
pedagang kecil, kemajuan usaha kalau diukur dari pertambahan akumulasi
keuntungan materiil yang diperoleh, barang kali ini tidak akan tampak, sejak
dulu berjualan untuk mempertahankan kehidupan hanya itu itu saja, akan tetapi
kemampuan mereka untuk menyekolahkan anak, membiayai kesehatan, ketika sakit,
adalah bentuk akumulasi kapital sosial (sosial capital) dan bukan
diwujudkan sebagai kapital materiil. Kiranya tidak hanya terjadi di Okinawa,
Sardina dan Loma Linda bahwa tingkat harapan hidup masyarakat itu tinggi,
melainkan juga sebagian orang-orang desa di Indonesia yang hidupnya panjang
karena kesederhanaan gaya hidup masih banyak jumlahnya. Ini perlu kajian sampai
seberapa jauh kesederhanaan mereka memberikan kontribusi terhadap life
expectancy. Mereka adalah orang orang yang hidupnya tidak terlalu
terpengaruh oleh keinginan yang disuguhkan oleh pasar. Sekarang ini, pekerjaan
di sektor pertanian diisi oleh para petani yang usianya lanjut. Meskipun
demikian, mereka masih mencangkul, merokok walau pun usianya sudah 80 tahun.
Sebuah realitas yang perlu diperhatikan, institusi kesejahteraan yang dijamin
oleh komunitas itu menyediakan indikator sosial seperti ketenteraman, asuransi
sosial, ketahanan sosial dalam keluarga dan komunitas.
Perubahan gaya hidup materiil dan
lebih individualis dialami oleh ibu-ibu muda yang memutuskan untuk bekerja
sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Meskipun rentan perlindungan
ketenagakerjaan, ini tidak menyurutkan tekadnya menjadi TKW keluar negeri.
Tentu hasil ekonomi yang diperoleh jauh lebih baik dibandingkan dengan bekerja
di Indonesia. Kiranya tidak sedikit bagi para ibu yang telah mampu membangun
rumahnya. Kepergian kerja dalam waktu lama juga ada biaya sosial yang harus
dibayar (social opportunity cost), yakni keretakan berumah tangga,
perceraian, perselingkuhan ketika para suami ditinggal istri, anak-anak mereka
frustrasi dan terjerumus narkoba. Apakah ini sebuah indikasi hidup sejahtera?
Kebutuhan materi sudah tentu tidak bisa diabaikan, akan tetapi well being
bukan satu satunya ukuran materiil, kebutuhan sosial, kebutuhan psikologis,
kebutuhan kebugaran fisik menjadi bagian yang terdapat di dalamnya.
Pada umumnya kondisi kehidupan seperti ini dalam masyarakat Indonesia justru
menjamin asuransi sosial yang seharusnya dipikul oleh negara. Dapat
dibayangkan, seandainya kondisi seperti ini tidak ada, ditengah krisis ekonomi
yang berakibat pada rasionalisasi ketenagakerjaan diperusahaan besar,
radikalisasi sosial akan mengakibatkan stabilitas sosial politik akan goncang
ketika negara tidak mampu mengatasi pemutusan hubungan kerja. Keuntungan
terbesar dari kondisi kehidupan masyarakat tradisional yang tersisa masih mampu
menjamin sanak keluarga untuk hidup bersama ketika ada pemutusan hubungan
kerja. Mereka pulang ke desa masih disapa dan diterima untuk sementara waktu
sebelum mendapat pekerjaan baru. Tentu ini akan sulit di negara maju karena
negara harus melakukan intervensi besar-besaran untuk biaya sosial disaat
terjadi krisis.
Kebebasan (freedom) dan Pencapaian Pembangunan
Sosial
Kelihatannya
belum banyak orang mendiskusikan pembangunan sekaligus dengan apa yang hendak
dicapainya. Sebagaimana dikemukakan di atas, pemikiran konvensional tentang
pembangunan tidak melepaskan diri dari identifikasi bahwa pembangunan itu
identik dengan pertumbuhan pendapatan nasional bruto, munculnya tingkat
pendapatan penduduk, tumbuhnya industrialisasi dan teknologi atau modernisasi
sosial. Akan tetapi apakah ketika pencapaian pendapatan nasional itu tinggi
atau pendapatan masyarakat itu tinggi, hal ini telah identik dengan
kesejahteraan bagi masyarakatnya. Bukan berarti semua diatas itu tidak penting,
namun ketika realitas sosial menunjukkan sebaliknya kemungkinan kesalahan macam
apa yang perlu direfleksi?
Bila kesejahteraan itu adalah tujuan akhir dari perkembangan masyarakat maka
pembangunan adalah cara pencapaiannya. Dua kata ini sering dibicarakan secara
terpisah, pembangunan lebih menunjuk pada persoalan teknis (instrument)
bagaimana mendorong dan memfasilitasi masyarakat agar mereka maju sedang
kesejahteraan menjadi terminologi tertentu yang artinya tidak lebih dari
kegiatan pelayanan masyarakat sebagaimana di kemukakan di atas. Oleh sebab itu
kesejahteraan macam apa yang dikehendaki oleh sebuah komunitas, selanjutnya
cara pembangunan macam apa yang dilakukan untuk memfasilitasi mereka. Ketika
keduanya itu tidak menjadi kesatuan logika berfikir maka masing-masing berdiri
sendiri sendiri untuk kepentingan praktis. Artinya, pembangunan berdiri sebagai
rasionalitas instrumental tanpa mengindahkan nilai (value) macam apa
yang hendak dicapai dan dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya. Demikian pula
tentang kesejahteraan, tidak disadari bahwa keberadaannya sebagai sebuah nilai
yang ingin dicapai adalah kehilangan “ruh” sehingga terjebak dalam rasionalitas
instrumental juga. Sejahtera seolah sebuah ukuran materiil tentang pencapaian
dan mengabaikan pencapaian tujuan non materiil. Sejahtera bukan lagi menunjuk
keadaan masyarakat yang mampu memperoleh atau mendapatkan kenikmatan dalam
dunia kehidupan baik materiil maupun non materiil menurut dirinya sendiri.
Absennya logika berfikir seperti ini dalam sebuah negara yang sedang membangun
membuat negara itu kehilangan eksistensi sebagai sebuah bangsa, sebab
pembangunan yang dilakukan tidak terasa adalah sebuah alat kepentingan dari
prinsip perluasan pasar dari perkembangan negara maju. Keadaan seperti ini
menunjukkan sebagai sebuah pembangunan yang terperangkap (development
trapped). Disebut terperangkap karena pembangunan itu ternyata
menguntungkan orang lain dan bangsa yang sedang membangunan itu tidak lebih
sebagai perluasan pasar mereka. Relasi antara pembangunan dan kesejahteraan
tidak hanya sekedar hubungan relasional tanpa membawa prinsip nilai yang
dijadikan sebagai guiding perspective dalam proses perubahan. Amartya
Sen (2000) meletakkan kebebasan (freedom) sebagai prinsip nilai
sebagaimana di kemukakan di atas.
Selanjutnya, Sen menyebutnya agensi atau aktor yang mendapat kemerdekaan atau
kebebasan itu adalah individu. Kemerdekaan individu (individual freedom)
adalah sebagai komitmen sosial (social commitment) yang menjadi dasar
untuk memahami hubungan antara pembangunan dan kesejahteraan. Perluasan
kebebasan individu dilihat sebagai pencapaian tujuan utama, sedang perluasan
kebebasan itu dilihat juga sebagai instrument utama pembangunan.
Pembangunan itu terdiri dari pemusnahan bermacam-macam tipe ketidakbebasan yang
tinggal di sanubari orang (people) dengan sedikit pilihan dan minimnya
kesempatan untuk melakukan sesuatu. Pemusnahan ketidakbebasan substansial itu
adalah konstitutif pembangunan. Hemat penulis kebebasan manusia adalah sebagai
nilai pembangunan yang menonjol. Kurangnya kebebasan untuk mencapai kesempatan
ekonomi, kebebasan politik, kekuatan sosal termasuk kurangnya pencapaian
kesehatan yang baik pendidikan yang baik adalah bentuk kemiskinan pembangunan.
Sebagai ilustrasi hubungan antara pendapatan dan kebebasan individual untuk
menentukan hidup lebih panjang dan lebih baik. Ini bukan berarti bahwa tingkat
GNP yang tinggi pada suatu negara terjadi harapan hidup yang lebih baik
ditingkat individu. Misalnya Brasil adalah lebih kaya, yakni dengan GNP tinggi
dan pendapatan perkapita individunya juga tinggi dibandingkan dengan negara
seperti Sri Langka, Cina dan India, namun negara negara ini bahkan memiliki
tingkat harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan di Brasil. Di tingkat ini
pendapatan bukan sebagai penentu untuk menentukan well being, akan
tetapi kebebasan individu itu sendiri untuk menentukan well being
sehingga tingkat harapan hidup itu tinggi. Pendek kata pembangunan itu adalah
pemusnahan ketidakbebasan yang membuat penduduk terbelenggu.
Sen tidak melihat negara, organisasi sosial dan pelaku bisnis sebagai aktor
yang berhubungan langsung dengan kondisi yang membuat mereka tidak bebas dan
ketergantungan. Hubungan antara para pihak dalam sebuah negara berkembang
dengan negara maju dapat dianalogikan dengan pemikiran ini. Negara berkembang
sebagai mana dikemukakan di atas, jika dilihat dari pembangunan sebagai sebuah
kebebasan maka kondisi yang terjadi dalam negara berkembang termasuk Indonesia
adalah penuh ketidakbebasan substantive. Oleh sebab itu pembangunan
seharusnya merupakan alat untuk pemusnahan terhadap belenggu yang membuat
ketidak bebasan. Dengan demikian maka negara itu memiliki kebebasan dalam
menentukan dirinya sendiri tidak tergantung pada ketentuan yang dipersyaratkan
oleh konstruksi kepentingan paham neoliberal. Arti penting selanjutnya adalah
bahwa pembangunan itu terdiri dari pemusnahan bermacam-macam tipe
ketidakbebasan yang tinggal di sanubari aktor kelembagaan dengan sedikit
pilihan dan minimnya kesempatan untuk melakukan sesuatu. Keberanian memusnahkan
konstruksi kehidupan yang didesain oleh paham neoliberalis diganti oleh
pembangunan sebagai kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri menjadi penting
dilakukan agar tidak masuk dalam lingkungan development trapped. Pada
tingkat ini tujuan pembangunan ekonomi seimbang dengan tujuan sosialnya. Pada
posisi ini pembangunan sosial yang berusaha menyeimbangkan antara tujuan
ekonomi dan sosial harus meletakkan prinsip nilai bahwa pembangunan sebagai
sebuah kebebasan.
Wasana Kata
Keterpasungan konsep kesejahteraan masyarakat bukan karena masyarakat tidak
memiliki kreativitas untuk merumuskan dan menentukan dirinya sendiri, akan
tetapi masyarakat selalu menjadi obyek organisasi formal, baik negara, LSM
Internasional dan organisasi bisnis. Potret mereka tentang kemiskinan dan
ketidaksejahteraan masyarakat selalu dilihat dari kerangka pemikiran dimana
masyarakat negara berkembang dianggap tidak maju secara materiil. Oleh
karenanya, berbagai bentuk pelayanan masyarakat dalam program pembangunan
adalah dominasi pendefinisian organisasi-organisasi tersebut. Organisasi
pemerintah maupun organisasi sosial dalam penyelenggaraan pelayanan sangat
tergantung terhadap rezim pendanaan internasional yang berakibat pada posisi
ketergantungan bagi orang yang dilayani maupun yang melayani. Konsep utama
tentang jenis, substansi, pengukuran pelayanan sangat tergantung oleh rezim
tersebut. Inilah bentuk ketidakberdayaan dimana paham neoliberal telah menata
semuanya ini dalam skala dunia.
Di tengah situasi ketidakberdayaan,
ide untuk membangkitkan kembali kekuatan komunitas sangat diperlukan. Membangun
institusi sosial (pattern of social relationship) yang dianggap
mendukung kesejahteraan bagi komunitas menjadi sangat penting artinya untuk
pembangunan bangsa, dan bukan menghilangkan institusi tradisional yang berbasis
komunitas menjadi berbasis individu. Perlu ada kajian mendalam institusi sosial
macam apa yang sekarang ini masih tersisa dan efektif untuk menjamin ketahanan
sosial masyarakat termasuk apa yang mereka pikirkan tentang sejahtera,
selanjutnya menguatkan kembali cara komunitas untuk menjaga kehidupan bersama.
Atas dasar kajian yang mendalam baik pemerintah maupun organisasi non
pemerintah seharusnya mampu meyakinkan siapapun rezim pendanaan
internasionalnya untuk mengikuti pola pelayanan yang sangat diharapkan oleh
masyarakat sesuai dengan konsep yang mereka konstruksikan sendiri menurut basis
komunitasnya. Institusi sosial tentang kesejahteraan ini ternyata tidak hanya
berlangsung di Indonesia saja melainkan juga di beberapa wilayah negara maju,
yang masyarakatnya tidak sepenuhnya mengikuti rasionalitas yang dicetak oleh
konseptualisasi modernitas untuk kepentingan pasar.
Sumber:
http://www.pspk.ugm.ac.id/artikel-terbaru/61-pembangunan-dan-kesejahteraan-masyarakat-sebuah-ketidakberdayaan-para-pihak-melawan-konstruksi-neoliberalisme.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar